Dialog Menteri Karding Dengan Pekerja Migran
Kenapa Nggak Kerja Di Dalam Negeri? Susah, Pak…
Reporter : NUR ROCHMANNUDIN
Editor : ADITYA NUGROHO
Jumat, 27 Desember 2024 08:00 WIB
RM.id Rakyat Merdeka – Di momen libur Natal, Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding mengunjungi Shelter Pekerja Migran Indonesia (PMI) Tangerang. Pada kesempatan ini, dia berdialog dengan pekerja migran ilegal. Saat ditanya Menteri Karding kenapa nggak cari kerja di dalam negeri saja, mereka bilang susah.
Ada delapan pekerja migran ilegal yang diajak berbincang Karding. Mereka korban dari penyalur pekerja migran ilegal. Semuanya Perempuan dan berasal dari Jawa Barat, Lampung, dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
Kepada Karding, mereka mengaku dijanjikan menjadi asisten rumah tangga di Uni Emirat Arab. Rencananya, kedelapan pekerja migran ilegal itu akan diberangkatkan melalui Bandara Juanda, Surabaya.
Karding meminta, mereka pulang ke kampung halamannya dan berkoordinasi dengan perwakilan Kementerian P2MI di daerah. “Pulang dulu saja,” pinta Karding, di Shelter PMI Tangerang, Kamis (26/12/2024).
Dia meminta, kepada mereka mengikuti prosedur yang telah ditetapkan untuk kerja di luar negeri, supaya ada jaminan. Misalnya, memiliki surat izin atau rekomendasi kepala desa. “Kalau di sana sakit gimana?” tanya Karding.
Selain itu, kata dia, calon pekerja migran ilegal juga harus memiliki dasar keahlian sebelum berangkat ke luar negeri. Minimal, telah tersertifikasi. Tujuannya, agar mendapat gaji yang lebih baik.
“Kalau tidak ada nanti semau-maunya majikan. Kasihan teteh. Jadi sudah jauh-jauh bekerja, tapi gaji rendah. Tidak diperlakukan baik,” tutur Politisi PKB ini.
Dalam kesempatan itu, para pekerja migran ilegal meminta Karding menindak penyalurnya. “Tangkap pak, yang nipu kami,” pinta salah satu pekerja migran ilegal.
Menurut Karding, penyalur pekerja migran ilegal sudah ditangkap, dan akan mendapatkan ganjaran yang setimpal. Sebab itu, ia meminta, para korban untuk menjadi saksi ihwal perbuatan pelaku. “Hukuman tertinggi 10 tahun denda Rp 15 miliar, biar jera. Harus kena semua itu,” ujarnya.
Karding kemudian bertanya, kenapa mereka ngotot kerja di luar negeri, padahal selisih gaji yang dijanjikan tak lebih besar dengan gaji di Indonesia. “Susah, pak,” jawab seorang calon pekerja migran ilegal.
“Emang keahliannya apa?” tanya Karding, lagi. “Bersih-bersih bisa, masak bisa,” jawab pekerja migran ilegal.
Para pekerja migran ilegal juga mengaku alasan mereka mau kerja di luar negeri karena faktor ekonomi. Mereka mengaku menjadi tulang punggung keluarga.
Di tempat terpisah, Polisi menangkap dua penyaluran pekerja migran ilegal ke Timur Tengah, MZ (31) dan MK (33) di salah satu apartemen kawasan Kota Bogor, Jawa Barat. “Saat ini, perannya sebagai penampung dan yang merawat di penampungan,” kata Kasat Reskrim Polresta Bogor Kota AKP Aji Riznaldi kepada wartawan, Kamis (26/12/2024).
Menurut Aji, keduanya ditangkap bersamaan dengan delapan pekerja migran ilegal. Pelaku mendapatkan keuntungan 1.000 dirham atau setara Rp 4.408.421 per bulan.
Kapolresta Bogor Kota Kombes Bismo Teguh Prakoso menjelaskan, penangkapan ini sebagai tindaklanjut laporan Kementerian P2MI, Selasa (24/12/2024). Mereka dapat informasi adanya penampungan calon pekerja migran ilegal ke daerah Timur Tengah. Kemudian, pihak kepolisian mendatangi lokasi yang dilaporkan tersebut dan mendapati calon pekerja migran ilegal.
Koordinator Divisi Bantuan Hukum Migrant CARE, Nur Harsono menilai, ada beberapa faktor yang membuat mereka mengambil jalur ilegal. Pertama, iming-iming dari calo yang akan memberangkatkan dengan proses cepat, gaji tinggi, dan PMI beserta keluarganya mendapat uang saku dari perekrutan. Nilainya bervariasi, ada yang dapat Rp 3 juta, Rp 5 juta, Rp 10 juta.
Kedua, karena faktor jaringan yang kuat antara perekrut di Indonesia dan para agen penempatan di negara tujuan. Misalnya di Saudi. “Jaringan tersebut sudah mengakar sejak puluhan tahun dan punya relasi dengan para calon majikan,” ujarnya saat dihubungi, tadi malam.
Ketiga, karena faktor lemahnya pengawasan di tingkat daerah kantong pekerja migran. Keempat, lemahnya penegakan hukum. Dan terakhir, lemahnya diplomasi Pemerintah Indonesia dengan negara tujuan.
“Harus ada update bilateral agreement kedua negara untuk memastikan jaminan perlindungan dan kepastian mekanisme penetapan prosedural PMI, sehingga menjadi rujukan kedua negara,” tukasnya. [MEN/BYU]
Kenapa Nggak Kerja Di Dalam Negeri? Susah, Pak…
berita ini disadur dari:
*WHIED*