https://www.bbc.com/indonesia/articles/cd1x0y2w5eeo
- Raja Eben Lumbanrau
- Peranan,BBC News Indonesia
- 30 Juli 2024
Perjuangan pekerja migran Indonesia (PMI) asal NTT Meriance Kabu dalam mencari keadilan selama 10 tahun terakhir, menemui titik terang. Pengadilan Malaysia menyatakan dua terdakwa, Ong Su Ping Serene dan Sang Yoke, memenuhi elemen kesalahan tindak kejahatan perdagangan orang (TPPO) dan pelanggaran keimigrasian.
Majelis yang dipimpin Hakim Mahkamah Sesyen Ampang, Wan Mohd Norisham Wan Yaakob dalam persidangan pada Selasa (30/07) juga memutuskan untuk memanggil dua terdakwa untuk membela diri sebelum hukuman diberikan, dalam kasus dugaan penyiksaan yang disebut “keji” kepada pekerja migran Indonesia nonprosedural itu.
“Oleh demikian Mahkamah memutuskan bahwa pihak pendakwaan telah berjaya membuktikan kes. prima facie bagi pertuduhan terhadap kedua-dua di bawah Section 13 ATIPSOM dan Seksyen 55e Akta Imigresen 1959/1963,” kata Hakim Wan Mohd Norisham Wan Yaakob dalam persidangan.
Namun, hakim menyatakan bahwa dakwaan lainnya, yaitu tentang penganiayaan atau menyebabkan kecederaan parah dan percobaan pembunuhan, gagal dibuktikan.
Atas putusan itu, Meriance yang menyaksikan jalannya persidangan mengaku sedikit lega karena ada secerca harapan dalam kasusnya, walaupun perjalanan untuk mendapatkan keadilan masih panjang.
“Hari ini baru langkah pertama untuk saya berjuang. Saya akan berjuang terus sampai keadilan betul-betul sempurna. Saya tidak pernah menyerah, saya tidak pernah takut dan tidak pernah gemetar menghadapi semua ini,” kata Meriance usai persidangan di Mahkamah Sesyen Ampang, Selasa (30/07), seperti yang dilaporkan wartawan Alyaa Alhadjri untuk BBC News Indonesia.
Aktivis kemanusiaan asal NTT Emmy Sahertian menyebut hasil persidangan Meriance memiliki arti penting dalam perlindungan PMI NTT di Malaysia “karena sebagai pintu masuk untuk meneriakan lebih keras bahwa ada jalan yang terang untuk mereka yang mengalami ketidakadilan dan kekerasan.”
Duta Besar Indonesia untuk Malaysia Hermono menyebut bahwa hasil persidangan ini telah tepat karena alat-alat bukti material yang ada terpampang jelas.
Dia pun menambahkan kasus Meriance adalah salah satu tolak ukur bagaimana penegakan hukum kasus-kasus penyiksaan dan kekerasan yang menimpa PMI di Malaysia.
“Kasus penyiksaan yang demikian keji itu tidak hanya dialami oleh Meriance. Kami juga sedang menangani kasus-kasus lain yang tidak kalah kejinya. Ada yang disiksa, disiram air panas, dibuang di tengah jalan, dan lain-lain,” ujar Hermono.
Koordinator Bantuan Hukum Migrant Care Jakarta, Nurharsono mengatakan kasus Meriance dan banyak tindak kekerasan yang dialami PMI lainnya “seperti gunung es yang hanya tampak di permukaan, namun sejatinya yang tidak tampak lebih besar.“
Dugaan aksi penyiksaan yang dialami Meriance terjadi pada 2014 saat dia bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di Malaysia.
Majikannya, menurut pengakuan Meriance, melakukan rangkaian kekerasan yang membuatnya cacat fisik pada kedua telinga dan mulut, bahkan beberapa giginya juga dicabut menggunakan tang.
Januari 2015 silam, mantan majikan Meriance itu diseret ke meja hijau. Namun, pengadilan Malaysia memberikan status Discharges Not Amounting to an Acquittal (DNAA) atau dilepaskan tapi tidak dibebaskan pada Oktober 2017.
Kasus itu lalu mangkrak selama lima tahun, hingga akhirnya pengadilan kembali membuka perkara itu pada 2023 lalu.
Penuhi unsur kejahatan perdagangan orang
Dua terdakwa yaitu Ong Su Ping Serene dan Sang Yoke Leng tiba di Pengadilan Ampang, Malaysia, sekitar pukul 10.00 waktu setempat, Selasa (30/07). Mereka berjalan dengan cepat memasuki ruang persidangan, sambil menutup wajah dengan kertas dan jaket tudung.
Hakim yang memimpin jalannya sidang Wan Mohd Norisham Wan Yaakob menyatakan terdakwa terbukti memenuhi elemen kesalahan tindak kejahatan perdagangan orang (TPPO) dan pelanggaran keimigrasian.
“Oleh demikian Mahkamah memutuskan bahwa pihak pendakwaan telah berjaya membuktikan kes. prima facie bagi pertuduhan terhadap kedua-dua di bawah Section 13 ATIPSOM dan Seksyen 55e Akta Imigresen 1959/1963,” kata Norisham Wan Yaakob.
Namun, hakim menyatakan bahwa dakwaan lainnya, yaitu tentang penganiayaan atau menyebabkan kecederaan parah dan percobaan pembunuhan, gagal dibuktikan.
Pertimbangan hakim karena keterangan Meriance sebagai saksi utama tidak didukung oleh saksi-saksi lain termasuk dari pihak medis.
Menurut hakim, penyidik dari kepolisian Malaysia yang menjadi saksi ke-12 memberi keterangan bahwa bukti senjata atau tang yang digunakan untuk mencabut gigi Meriance tidak disita dari tempat kejadian.
“Tetapi terdapat bukti kecederaan fisik konsisten dengan keterangan Meriance, Dia cedera akibat ditumbuk dan ditendang, juga cedera sehingga mengubah bentuk wajah dan bibir secara kekal,” katanya.
Tahap persidangan selanjutnya adalah memberikan hak kepada terdakwa untuk melakukan pembelaan, sebelum hukuman diberikan.
Sementara itu, terdakwa dan kuasa hukumnya tidak mau berkomentar terkait dengan hasil dari persidangan. Mereka langsung meninggalkan lokasi persidangan.
Sepanjang sidang, Meriance hadir dan duduk di bangku baris hadapan, didampingi aktivis kemanusiaan dari NTT Emmy Sahertian, dan juga perwakilan Kedutaan Besar Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur.
Ketika putusan dibacakan, Meriance terlihat beberapa kali menyeka air mata. Ditemui usai sidang, air mata Meriance tumpah. Cuma kali ini sebagai tanda bahagia dan bersyukur.
“Pertama-tama saya ucap banyak terima kasih pada pengadilan di Kuala Lumpur. Saya mendengar langsung dari tuan hakim yang membaca surat [putusan] itu bahwa ada kebenaran untuk saya,” katanya.
“Dengan itu saya juga minta terima kasih pada banyak orang di Indonesia dan Malaysia yang sudah turun tangan bantu saya,” ucapnya lagi.
Menyadari perjalanan kasus masih panjang, Meriance berkata, “hari ini baru langkah pertama dan saya akan berjuang terus hingga keadilan itu benar-benar sempurna”.
“Saya tidak pernah menyerah, saya tidak pernah takut dan tidak pernah gemetar menghadapi semua ini,” katanya.
’Tuhan tak tutup mata siapa yang benar dan salah’
Pada persidangan di Malaysia, Selasa (30/07), Meriance, yang difasilitasi oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia (Kemlu), hadir menyaksikan jalannya persidangan.
Ini menjadi kali ketiga dirinya menginjakkan kaki di Malaysia. Pertama pada 2014 saat dia terjerat mafia perdagangan manusia untuk bekerja sebagai PRT, lalu pada 2022 dan kini di penghujung Juli 2024.
BBC News Indonesia sempat berbicang dengannya lewat aplikasi video online, Jumat (26/07), beberapa hari sebelum persidangan. Tetesan air mata Meriance tak berhenti.
Tangis itu, katanya, adalah ekspresi campur aduk antara rasa trauma, bahagia dan harapan.
“Walaupun saya penuh luka dan juga kesedihan yang saya alami selama 10 tahun berjuang mencari keadilan, saya tidak takut karena saya yakin, yakin sekali, keadilan itu selalu ada.“
“Tuhan tidak pernah tutup mata siapa yang benar dan siapa yang salah, dan saya sudah berjanji ke diri saya, sampai mati pun saya akan mencari keadilan itu,” kata Meriance.
Meriance pun berharap agar mantan majikannya dinyatakan bersalah dan dihukum seberat-beratnya atas rangkaian penyiksaan yang mereka lakukan.
“Karena saat itu, saya berkali-kali minta tolong untuk dilepaskan, menangis, jangan siksa saya, tapi dia tidak pernah lepaskan saya, tidak pernah dengar, tidak pernah peduli saat saya menangis, minta tolong. Dia harus tanggung jawab itu,” katanya.
Meriance masih diselimuti rasa trauma, namun dia mengaku harus kuat hadir ke persidangan walaupun bertemu kembali dengan mantan majikannya.
Selain untuk mencari keadilan, keberanian keteguhan hati Meriance juga muncul karena dia ingin memberikan harapan kepada banyak PMI lain yang kini tengah berjuang memperjuangkan hak mereka.
“Walaupun harus berjuang seorang diri, kita harus terus berjuang. Jangan diam karena kita ini nyawa manusia yang berharga, dan keadilan itu masih ada, cepat atau lambat,” katanya.
selengkapnya :