Dalam minggu-minggu terakir ini, perbincangan kritis mengenai penulisan ulang sejarah Indonesia mengemuka ke khalayak ramai dan memunculkan perdebatan serta kontroversi. Kalangan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan sejarahwan publik mempertanyakan ketidaktransparannya rencana proses penulisan ulang sejarah Indonesia. Selain itu, mengacu pada kerangka konsep penulisan sejarah Indonesia yang beredar dan menjadi satu-satunya referansi mengenai rencana penulisan ulang sejarah Indonesia ada beberapa hal yang patut dipertanyakan.

Ambisi untuk menyelesaikan penulisan ulang sejarah Indonesia dalam 10 jilid dan diupayakan menjadi sejarah resmi (Official History) memiliki kepentingan politik kekuasaan. Kalangan aktivis HAM mempertanyakan potensi penghilangan sejarah pelanggaran HAM masa lalu diujung masa Orde Baru, seperti kasus penculikan aktivis, penembakan mahasiswa dan perkosaan masal Mei 1998. Kalangan aktivis perempuan mempertanyakan absennya pembahasan tentang Kartini, Sejarah Konggres Perempuan Indonesia pertama tahun 1928 serta pengalaman gerakan perempuan Indonesia. Tidak ada jejak orang kecil dan kelompok-kelompok marginal dalam sejarah Indonesia seperti buruh, nelayan, petani, pekerja migran apalagi masyarakat adat.

Hubungan erat Indonesia dan Australia yang terjalin selama berabad-abad tak dituliskan. Misalnya tentang pembentukan Jalur Teripang yang memperlihatkan perjalanan nelayan pencari teripang dari Bugis ke Australia Utara jauh sebelum kedatangan imigran Eropa ke Australia. Juga tentang solidaritas pelaut antar bangsa (Indonesia, Australia, Cina dan India) yang melakukan pemogokan di pelabuhan-pelabuhan Australia menolak untuk melayani kapal Belanda yang berisi senjata untuk memerangi pejuang kemerdekaan Indonesia.
